Cari Blog Ini

Rabu, 02 Maret 2011

Perbandingan Fenomena Bunuh Diri di Jepang dan di Indonesia part 1

Fenomena bunuh diri di jepang

Bunuh diri bukanlah sesuatu yang aneh di Jepang. Tindakan menghabisi nyawa sendiri bahkan pernah berkembang dengan ritual-ritual tertentu dan menjadi tradisi yang dijunjung tinggi. Bunuh diri dilakukan terkait dengan berbagai alasan seperti rasa malu, atau rasa tanggung jawab pada pekerjaan atau tugas. Bila seseorang merasa sangat bersalah atau menyusahkan orang lain, maka mereka akan sangat mudah melakukan bunuh diri. 

Bunuh diri ritual pada zaman dahulu dilakukan dengan mengeluarkan isi perut sendiri. Bunuh diri ritual kaum samurai ini disebut sebagai harakiri. Namun di dunia luar harakiri lebih dikenal dengan sebutan seppuku. Kenapa perut menjadi pilihan? Kenapa bukan bagian tubuh yang lain? Orang Jepang dahulu berpandangan perut merupakan tempat bersemayamnya nyawa. Perut adalah pusat fisik dari tubuh, dan mereka beranggapan perut merupakan sasaran untuk menyatakan kehendak pemikiran, kemurahan hati, keberanian, semangat, kemarahan, tindak permusuhan adan lain-lain. 

Pelaksanaan harakiri tidak boleh sembarangan. Berbagai hal telah diatur misalnya tempat, waktu, saksi-saksi, pengawas dan pembantu. Bila semuanya telah siap maka seorang yang akan melakukan harakiri akan membuka kimononya dan tanpa ragu mencabut pisaunya dan segera merobek perutnya dari kiri ke kanan. Setelah si pelaku harakiri sekarat, maka ia akan memberi isyarat kepada pembantu (seperti algojo) untuh menebas lehernya. Namun, tebasan algojo tadi tidak sampai memutuskan leher si pelaku harakiri. Ini dimaksudkan agar kepala tersebut tidak jatuh menggelinding.  

Kita mungkin bisa bergidik membayangkan betapa ironis dan sadisnya para samurai yang mengeluarkan isi perutnya dan memotong ususnya tanpa ragu sebelum algojo menebas batang lehernya. Tetapi itulah cara terhormat mati bagi seorang samurai seperti diajarkan dalam prinsip bushido, kode moral kaum samurai. Ini mereka lakukan atas kesetiaan tertinggi kepada atasannya. 

Tapi apakah hanya faktor-faktor yang menyangkut harga diri, rasa malu, rasa bersalah dan ikut merasa bersalah yang membuat orang Jepang begitu mudah melakukan bunuh diri? Ternyata tidak!! 

Penyebab lain adalah tidak adanya beban psikologis seperti rasa berdosa bagi mereka akan tindakan bunuh diri tersebut. Masyarakat Jepang tidak mempunyai konsep dosa dan hanya berdasar pada etika bermasyarakat saja. 

Dalam hidup bersosial, apabila mereka melakukan kesalahan. Maka, kesalahan tersebut murni kesalahan pada manusia, tidak kepada tuhan. Tanggung jawab orang Jepang adalah tanggung jawab kepada sesama manusia. Oleh karena itu, orang Jepang nyaris tanpa beban bila bunuh diri. Tidak ada konsep ketuhanan dalam masyarakat Jepang pada umumnya. 

Bunuh diri di Jepang pada awalnya berkembang sebagai tradisi untuk memupuk jiwa patriotik, setia pada atasan (kelompok), jujur dan bertanggung jawab pada tugas serta berani berkorban. Hilangnya nilai-nilai bushido akibat kekalahan tentara jepang pada Perang Dunia II membuat tradisi ini bergeser hingga bentuknya menjadi sekarang ini. 

Di pelajaran sejarah dunia, kita mungkin pernah mendapatkan pelajaran tentang PD II yang di dalamnya menceritakan tentang bagaimana perjuangan tentara Jepang dalam mempertahankan diri, bahkan memperoleh kemenangan dalam perang. Mereka sering melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan atau bahkan membumihanguskan diri sendiri seperti halnya menabrakkan pesawat tempur mereka ke pesawat tempur asing. Ini disebut dengan kamikaze. Dan menabrakkan kapal selam mereka ke kapal selam asing yang disebut dengan raiden. Mereka menganggap ini bukanlah penghancuran diri, melainkan penghancuran musuh. Sampai seperti itu mereka mempertahankan kehormatan negara, bahkan sampai rela bertukar nyawa, asalkan musuh mereka juga mati. 

Kalau di masa lalu tradisi ini adalah bagian yang tak terpisahan dari kehidupan samurai, maka sekarang adalah bagian dari kehidupan bagi mereka yang bertarung di dunia ekonomi, politik, dan keuangan. Bagian kehidupan dari mereka yang bersaing keras mencapai kemakmuran dan kesuksesan. 

Hal ini bisa dimengerti mengapa tradisi ini tetap bertahan dalam bentuk lain karena tidak adanya konsep ketuhanan dan dosa. Ini sangat berseberangan dengan apa yang dianut oleh orang Indonesia yang menganut agama samawi dengan tuhan sebagai suatu kemutlakan, dan adanya pertanggungjawaban kepada tuhan kemudian nanti (kehidupan di akherat).  

Jepang mengatakan bunuh diri dan depresi merugikan negara itu sekitar 32 miliar dolar tahun lalu lewat klaim kehilangan pendapatan dan ganti rugi.Dalam perkiraan biaya yang pertama kalinya dilakukan itu pejabat kesehatan Jepang memasukkan pembayaran bantuan kesejahteraan dan biaya kedokteran akibat depresi selain kehilangan pendapatan bagi mereka yang dirawat dan mereka yang bunuh diri 

Masyarakat Jepang memang menyimpan banyak teka-teki dalam kehidupannya dan bunuh diri di Jepang mempunyai nilai filosofi yang tinggi jika diruntut dari budaya Jepang masa lalu.

Tidak ada komentar: